Minggu, 25 Mei 2014

Makalah Muthlaq Dan Muqayyad




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Alquran merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril sebagai pedoman bagi kehidupan umat di dunia. Seperti yang kita tahu, di dalamnya terdiri dari berbagai surat yang semuanya itu sarat akan makna. Ibarat sebuah buku cerita, berjuta kata (lafadz) yang ada di dalamnya mengandung makna yang berbeda-beda.
            Namun dari setiap makna kata (lafadz) tersebut tak jarang dijumpai sebuah kata (lafazd) yang maknanya begitu luas tanpa batasan. Yang mana sebelumnya sudah dikaji terlebih dahulu oleh para ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang lebih meluas dari makna asalnya. Ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya terbatas dan terkesan terpaku pada satu makna saja (makna asal).
           
Sebagian hukum syara’ terkadang muncul dalam bentuk mutlak yang menunjukkan pada satu benda yang umum, tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat. Dan terkadang muncul dalam bentuk muqayyad yang dibatasi oleh sifat atau syarat namun, hakikat individu itu tetap bersifat umum serta meliputi segala jenisnya. Pemakaian lafadz mutlak atau muqayyad merupakan salah satu keindahan retorika bahasa Arab dan dalam Kitabullah yang tidak tertandingi itu, ia dikenal dengan muthlaq Al-Qur’an wa muqayyaduhu atau kemutlakan Qur’an dan keterbatasannya.
            Untuk itulah dalam makalah ini kami akan membahas mengenai pembagian lafadz dari segi pengertiannya. Yang diantaranya membahas mengenai Muthlaq dan Muqayyad.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Pengertian Muthlaq dan Muqayyad.
2.      Hukum Lafadz Muthlaq dan Muqayyad.
3.      Pola Hubungan Lafazh Muthlaq dan Muqayyad  dalam Nash
4.      Perbedaan Pandangan Para Ulama’
1.3  Tujuan
1.      Untuk memenuhi tugas mata Pelajaran Fiqih.
2.      Untuk memahami makna Muthlaq Dan Muqayyad.
3.      Untuk memahami kandungan hukum dari lafadz Muthlaq Dan Muqayyad.
4.      Untuk memahami Pola hubungan Lafazh Muthlaq Dan Muqayyad dalam nash.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
            Al-Qur’an mengandung berbagai lafaz (kata) yang digunakan dalam teks hukum. Ada lafaz yang mengandung pengertian umum yaitu ‘am dan ada juga lafaz yang mengandung pengartian khusus yaitu ‘khas. Pada lafaz yang ‘khusus’ ada yang digunakan tanpa diikatkan pada kata sifat aatu kondisi apapun yaitu mutlaq, dan ada pula yang diikatkan pada kata sifat atau kondisi tertentu yaitu muqayyad [1]
            Muthlaq (المطلق) menurut bahasa artinya terlepas, tidak terbatas, dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah terdapat beragam pendapat yang pada intinya merujuk pada suatu kesamaan.
            Menurut ulama ushul muthlaq ialah: [2]
لَفْظٌ خَاصٌّ لَمْ يُقَيَّدْ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَهُ
                        “Lafazd tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadh            lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.”
                        Menurut Amir Syarifuddin Muthlaq ialah :[3]
مادل على فرد أو أفراد شائعة بدون قيد مستقل لفظا
                        “Lafaz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang bersifat melingkupi, tanpa diiringi ikatan apa-apa yang terpisah.”
                        Menurut Nazar Bakry Muthlaq ialah :lafaz-lafaz yang           menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan.[4] 
           


                        Seperti firman Allah SWT :
....فَتَحْرِيرُرَقَبَةٍ......
                        Maka bebaskanlah oleh seorang hamba sahaya “(Q.S.                   Mujahadah ayat 3). Hal ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya     yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.
                        Adapun muthlaq yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul Fiqh            adalah:[5]
ماَدَلَّ عَلَى الْمَهِيَةِ بِلَا قَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهَا
                        “Lafaz yang menunjukkan sesuatu hakekat, tanpa ada satu ikatan    dari (beberapa) ikatannya.”
                 Sedangkan Muqayyad (المقيد) menurut bahasa artinya yang    mengikat, membatasi.[6] Adapun secara istilah sama halnya dengan     Muthlaq beragam pendapat dari para ahli bermunculan.
                 Muqayyad menurut ulama ushul :[7]
لَفْظٌ خَاصٌّ قُيِّدَ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَهُ
                        “Suatu lafadh tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafadh             lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.”
                 Menurut Nazar Bakry muqayyad ialah suatu lafaz yang        menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa       perkataan. Seperti firman Allah SWT :[8]
مَنْ قَتَلَ مُؤمِناً خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤمِنَةٍ
                        Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena          bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang             beriman.” (Q.S. An-nisa ayat 92). Di sini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan, tetapi ditentukan, hanyalah hamba sahaya yang    beriman.

                 Adapun muqayyad yang dimaksudkan dalam istilah ilmu ushul       fiqih adalah : [9]
ماَدَلَّ عَلَى الْمَهِيَةِ بِقَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهاَ
                        “Lafaz yang menunjukkan sesuatu hakikat, dengan satu ikatan dari             (beberapa) ikatannya.”
                 Dari berbagai uraian pendapat yang dikemukakan oleh para ahli       diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan jika yang dimaksud dengan         muthlaq ialah suatu lafazh yang cakupan akan maknanya tanpa batas atau     dengan kata lain lafazh yang memiliki makna luas tanpa batasan.     Contohnya kata الدم (darah) dalam firman Allah SWT:[10]
حرمت عليكم الميتة والدم
                        diharamkan atas kamu bangkai dan darah.” (QS.Al-maidah ayat   3). Apa yang dimaksud dengan dengan lafazh الدم dalam ayat ini adalah         jenis darah yang bersifat menyeluruh tanpa ada batasan yang dapat             menyempitkan kandungannya.
                 Sedangkan muqayyad kebalikan dari muthlaq. Lafazh yang             menunjukkan pada sebuah hakikat sesuatu dengan menggunakan batasan           yang dapat mempersempit kandungannya. Dengan kata lain cakupan             maknanya terbatas. Contohnya lafazh د م مسفوح (darah yang mengalir)       dalam firman Allah SWT :
أودما مسفوها
                        atau darah yang mengalir.” (QS.Al-an’am ayat 145). Batasan        lafazh مسفوح (mengalir) dalam ayat tersebut merupakan sifat tambahan         dari hakikat lafazh د م (darah).
2.2  Hukum lafadz Muthlaq Dan lafadz Muqayyad
            Jika terdapat lafazh muthlaq dalam sebuah teks maka yang mesti dilakukan adalah menggunakan lafazh tersebut sesuai ke-muthlaq-annya. Kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa lafazh muthlaq tersebut dibatasi kandungannya.[11] Begitu pula dengan lafazh muqayyad tetap atas keterbatasannya atau keterkaitannya walaupun ada muthlaqnya.[12]
            Maksudnya adalah, bila datang satu kalam yang mana di dalamnya ada lafazh muthlaq pada suatu tempat, tetapi adapula satu lafazh muqayyad pada satu kalam di tempat lain, maka dibebankan lafazh yang muqayyad (artinya yang terpakai adalah yang muqayyad).[13]
            Yang demikian hanya berlaku apabila sebab dan hukum yang terdapat pada yang muthlaq dan muqayyad adalah sama. Sebagai contoh adalah, sabda Nabi Saw, pada orang Arab Gunung tentang kifaratnya bila seseorang bersetubuh dalam bulan puasa :[14]
 صُمْ شَهرَيْنَ مُتَتا بِعِيْنَ (متفق عليه)
                 puasalah dua bulan berturut-turut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
     Dan dalam riwayat lain Nabi bersabda :
صُمْ شَهْرَيْنِ
                 puasalah dua bulan
                 Kedua hadist tersebut diatas mempunyai sebab dan hukum yang     sama. Dikatakan sebabnya sama karena sama-sama sebab bersetubuh   dalam bulan puasa, dan hukumnya sama-sama wajib. Dalam hal demikian,             maka berlakulah kaidah yang berbunyi :[15]
اَلْمُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيِّدِ اِذَا اَتِّفَقاً فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
                        Mutlaq dibebankan pada yang muqayyad apabila sama sebab dan                hukumnya.
                 Tetapi dalam hal lain, yang tidak sama hukum dan sebabnya,           tidaklah boleh dibebankan muthlaq pada yang muqayyad. Sebagai contoh         adalah firman Allah yang menyangkut tentang kifarat orang yang    menzihar istrinya :[16]
....فَتَحْرِيرُرَقَبَةٍ..
                   maka hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya.”             (QS.Al-mujadalah ayat 2)
                 Dengan firman Allah tentang kifarat orang yang membunuh karena             tidak sengaja:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء 92)
                   maka hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya    yang mukmin” (QS.An-nisa ayat 92)
                 Dalam kedua ayat tersebut, tidak terdapat kesamaan sebab dan       hukumnya. Dalam hal demikian berlakulah kaidah yang berbunyi :[17]
اَلْمُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيِّدِ اِذَا لَمْ يَتَّفِقاَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
                 Muthlaq itu dibebankan pada yang muqayyad bila tidak sama          sebab dan hukumnya.
                 Keterangan :
                 Bila terdapat lafazh muthlaq yang mempunyai dua muqayyad, dan              kemungkinan tidak dapat ditentukan muqayyad yang lebih kuat antara             keduanya, maka tidak dapat dibebankan muthlaq pada muqayyad. Tapi          terpakai kemuthlaqannya yakni kedua-duanya terpakai.[18]
                 Sebagai contoh menyamak bejana yang dijilat anjing harus   dilakukan dengan tanah. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa pada         samakan pertamalah digunakan tanah. Sedang dalam riwayat lain    dinyatakan bahwa tana digunakan pada samakan terakhir. Dalam hal     demikian, yakni samakan dengan tanah boleh pada samakan pertamanya   dan boleh pula pada samakan yang terkahir.[19]


2.3  Pola Hubungan Lafazh Muthlaq Dan Muqayyad  dalam Nash
                        Terdapat empat kemungkinan pola hubungan mutlaq dan     muqayyad dalam nash, yaitu:[20]
1.      Dalam suatu nash, lafal muncul secara mutlaq, dan dalam nash lain lafal muncul secara muqayyad. Titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm) dan status hukum yang dikandung kedua nash itu bersesuaian. Contohnya ialah:[21]
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
                        Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,                                   (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah … (QS.                                Al-Maidah : 3)
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً
 أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ
                                    Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan             kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi … (QS. Al-An’am : 145)
                        Kata ad-Dam (darah) pada nash pertama disebut secara mutlaq,sedangkan pada nash kedua disebut secara muqayyad, yakni دَمًا مَّسْفُوحًا (darah yang mengalir) ; status hukum dalam kedua nash itu sama, yakni haram mengonsumsi darah; dan begitu pula sabab al-hukm nya, yakni ada unsur mudarat dan kuman penyakit dalam darah.
2.      Dalam suatu nash, lafal muncul secara mutlaq, dan dalam nash lain lafal itu muncul secara muqayyad. Titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm) dan status hukum yang dikandung kedua nash itu berbeda.
Contohnya ialah:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ
                   Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah          tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan    dan sebagai siksaan dari Allah … (QS. Al-Maidah : 38)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
                   Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan        shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku           (QS. Al-Maidah : 6)
                                    Kata aydi (tangan) pada nash pertama disebut secara            mutlaq, sedangkan pada nash kedua disebut secara muqayyad,    yakni                   أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ  (tanganmu hingga sikumu). Status hukum dalam                    kedua nash itu berbeda, pada nash pertama wajib amputasi tangan dan             dalam nash kedua wajib membasuh tangan. Begitu pula dalam sabab al-Hukm nya, dalam nash pertama ialah adanya unsur perbuatan                    melawan hukum terhadap harta orang yang disimpan pada tempatnya,             dan dalam nash kedua ialah kondisi berhadas yang disertai dengan keinginan melakukan amaliah yang dipersyaratkan bersuci (thaharah)                    terlebih dahulu.[22]
3.      Dalam suatu nash, lafal muncul secara mutlaq, dan dalam nash lain, lafal muncul secara muqayyad. Titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm) dari keduanya bersesuaian, sedangkan status hukum yang dikandung keduanya berbeda. Contohnya ialah:                                                                   
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
                                    Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan   shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku              (QS. Al-Maidah : 6)



وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
 فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ
                                    … dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari        tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu           tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang    baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu …           (QS. Al-Maidah : 6)
                                                Kata aydi (tangan) pada nash pertama disebut secara            muqoyyad, yakni أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ  (tanganmu hingga sikumu),      sedangkan pada nash kedua disebut secara mutlaq, yakni aydi         (tangan). Status hukum dalam kedua nash itu berbeda, yakni wajib     basuh tangan dalam nash pertama, dan wajib usap tangan dalam nash kedua. Akan tetapi, sabab al-hukm dari keduanya itu    bersesuaian, yakni kondisi berhadas yang disertai dengan keinginan       melakukan amaliah yang dipersyaratkan bersuci (thaharah) terlebih dahulu.[23]
4.      Dalam suatu nash, lafal muncul secara mutlaq, dan dalam nash lain lafal itu muncul secara muqayyad. Titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm) dari keduanya berbeda, sedangkan status hukum yang dikandung keduanya bersesuaian. Contohnya ialah:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا 
                        Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka          hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib             atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu                    bercampur ... (QS. Al-Mujadalah : 3)
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا 
                   … dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah            (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh        itu) … (QS. An-Nisa : 92)

                        Difahami bahwa nash pertama berbicara tentang kifarat zihar,          sedangkan nash kedua memperbincangkan kifarat pembunuhan karena         alpa (qatl al-khata’). Pada nash pertama, kata raqabah disebut secara         mutlaq, sedangkan pada nash kedua disebut secara muqayyad, yakni               رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ  (hamba sahaya yang beriman). Dari segi status hukum yang dikandungnya, yakni wajib memerdekakan budak, kedua nash tersebut                    bersesuaian. Akan tetapi, dari segi sabab al-hukm yang dikandungnya,             kedua nash itu berbeda. Pada nash pertama, sabab al-hukm-nya ialah keinginan kembali, sedangkan pada nash kedua ialah pembunuhan                    karena alpa (qatl al-khata’).
2.4  Perbedaan Pandangan Para Ulama
            Jika kita merujuk kepada pembagian pola hubungan diatas, maka kita dapat menemukan ada beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama.
            Dalam kemungkinan pola pertama, para ulama bersepakat bahwa lafaz yang muqayyad berfungsi menjelaskan lafaz yang mutlaq, serta mengalihkan pengertian lafaz mutlaq pada pengertian lafaz muqayyad. Dengan kata lain, pemahaman nash mutlaq harus disesuaikan menurut tuntutan pesan nash muqayyad ((حمل المتلق على المقيد. Sebagian riwayat, sebagaimana menurut Asy-Syaukani, menyebutkan adanya perbedaan di kalangan ulama dalam persoalan ini tetapi bukan perbedaan sengit dan substantive yang mempunyai implikasi konkret di kalangan mereka.[24]
            Dalam kemungkinan pola kedua, ulama bersepakat bahwa lafal yang muqayyad tidaklah berfungsi menjelaskan keumuman lafal yang mutlaq. Sebaliknya, kedua lafal mutlaq dan muqayyad tersebut digunakan makna masing-masing seperti semula. Hal ini disebabkan antara kedua lafal tersebut tidak lagi mempunyai hubungan, baik dari segi persamaan hukum maupun sebab munculnya hukum.
            Dalam kemungkinan pola ketiga, ulama berpendapat bahwa lafal yang muqayyad tidaklah berfungsi membatasi lafal yang mutlaq. Sebaliknya, kedua lafal tersebut menggunakan kandungan maknanya masing-masing seperti sedia kala.
            Dalam kemungkinan pola keempat, ada perbedaan pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa nash mutlaq harus disesuaikan pemahaman atasnya menurut tuntutan nash muqayyad ((حمل المتلق على المقيد. Sedangkan para ulama hanafiyah berpendapat sebaliknya bahwa nash mutlaq harus difahami menurut tuntutan pesan nash tersebut dan nash muqayyad harus difahami menurut tuntutan pesan nash tersebut. ((عدم حمل المتلق على المقيد.[25]





BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
            Al-Qur’an merupakan pedoman hidup manusia yang mengandung nash-nash tasyri’ di dalamnya. Salah satu bentuk nash-nash tasyri’ adalah mutlaq dan muqayyad. Mutlaq adalah lafaz yang menunjukkan pada makna yang luas tanpa terikat oleh batas. Sedang muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan pada makna yang terikat oleh batas. Keduanya memiliki kaidah masing-masing. Lafaz yang mutlaq harus dipahami dalam ke-mutlaq-annya sebelum ada indikasi yang membatasinya. Begitu pula lafaz yang muqayyad harus dipahami sesuai qayid yang menyertainya. Lafaz-lafaz mutlaq dan muqayyad ini tidak hanya muncul sebagai nash-nash tasyri’ tetapi juga menunjukkan salah satu keindahan retorika bahasa Arab yang dikandung oleh Al-Qur’an.
3.2  Saran
            Melalui makalah ini, kami selaku penulis menghimbau kepada seluruh pembaca, khususnya teman-teman XII IPA 1 agar selalu berpegang teguh pada Al-quran dan Sunnah. Hidup tidak akan tersesat jika kita berpegang pada Al-quran dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Mu’in,  dkk. 1986. Ushul fiqh II Qaidah-Qaidah istinbath dan ijtihad(metode          penggalian hukum islam. Jakarta: C.V. Romando.
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan ushul fiqh. Jakarta: Rajawali press.
Djalil, Bhasiq. 2010. Ilmu ushul fiqh 1 dan 2. Jakarta: Kencana.
Yasid, Abu. 2012. Memahami ilmu ushul fiqh sebagai epistimologi hukum.             Jakarta: Erlangga.
Sa’id al-Khinn, Musthafa. 1998. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-   Usuliyyah ‘ala             Ikhtilaf al-Fuqaha. Surabaya : Nurul Huda

Ø  Sumber Lain
http://www.fatihnasrullah.com/2014/10/lafaz-mutlaq-dan-muqayyad-dalam-           nash.html# Di akses pada 21 Januari 2015:20.15



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009) Hal., 48
[2] Mu’in dkk.Ushul fiqh II Qaidah-Qaidah istinbath dan ijtihad(metode penggalian hukum islam). (Jakarta:C.V.Romndo, 1986).H.50
[3] Amir Syarifuddin, Garis-garis besar ushul fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012) Hal., 117
[4] Nazar Bakry, Fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta: Rajawali press, 1993) Hal., 217

[5] Bhasiq Djalil, Ilmu ushul fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal., 94
[6] Ibid. Hal., 94
[7] Ibid. Hal., 95
[8] Nazar Bakry, Fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta: Rajawali press, 1993) Hal., 217-218
[9] Bhasiq Djalil, Ilmu ushul fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal., 95
[10] Ibid, Hal., 96
[11] Abu yasid, Memahami ilmu ushul fiqh sebagai epistimologi hukum, (Jakarta: Erlangga, 2012) Hal.,139
[12] Bhasiq Djalil, Ilmu ushul fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal.,96
[13] Ibid,.Hal., 96
[14] Ibid,.Hal., 96
[15] Ibid,.Hal., 97
[16] Bhasiq Djalil, Ilmu ushul fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal., 98
[17] Ibid,.Hal., 98
[18] Ibid,.Hal., 99
[19] Ibid,.Hal., 102
[20] Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf al-Fuqaha, (Surabaya : Nurul Huda, 1998) Hal. 248.
[21] Ibid., Hal. 249.
[22] Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf al-Fuqaha, (Surabaya : Nurul Huda, 1998) Hal. 250.
[23] Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf al-Fuqaha, (Surabaya : Nurul Huda, 1998) Hal. 252.
[24] http://www.fatihnasrullah.com/2014/10/lafaz-mutlaq-dan-muqayyad-dalam-nash.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar