BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alquran merupakan firman Allah SWT
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril sebagai
pedoman bagi kehidupan umat di dunia. Seperti yang kita tahu, di dalamnya
terdiri dari berbagai surat yang semuanya itu sarat akan makna. Ibarat sebuah
buku cerita, berjuta kata (lafadz) yang ada di dalamnya mengandung makna yang
berbeda-beda.
Namun dari setiap makna kata
(lafadz) tersebut tak jarang dijumpai sebuah kata (lafazd) yang maknanya begitu
luas tanpa batasan. Yang mana sebelumnya sudah dikaji terlebih dahulu oleh para
ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang lebih meluas dari makna
asalnya. Ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya terbatas dan terkesan
terpaku pada satu makna saja (makna asal).
Sebagian hukum syara’ terkadang muncul dalam bentuk mutlak yang menunjukkan pada satu benda yang umum, tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat. Dan terkadang muncul dalam bentuk muqayyad yang dibatasi oleh sifat atau syarat namun, hakikat individu itu tetap bersifat umum serta meliputi segala jenisnya. Pemakaian lafadz mutlak atau muqayyad merupakan salah satu keindahan retorika bahasa Arab dan dalam Kitabullah yang tidak tertandingi itu, ia dikenal dengan muthlaq Al-Qur’an wa muqayyaduhu atau kemutlakan Qur’an dan keterbatasannya.
Untuk itulah dalam makalah ini kami
akan membahas mengenai pembagian lafadz dari segi pengertiannya. Yang
diantaranya membahas mengenai Muthlaq dan Muqayyad.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Pengertian Muthlaq dan Muqayyad.
2.
Hukum Lafadz Muthlaq dan Muqayyad.
3.
Pola Hubungan Lafazh Muthlaq dan Muqayyad
dalam Nash
4.
Perbedaan Pandangan Para Ulama’
1.3 Tujuan
1.
Untuk memenuhi tugas mata Pelajaran
Fiqih.
2.
Untuk memahami makna Muthlaq Dan
Muqayyad.
3.
Untuk memahami kandungan hukum dari
lafadz Muthlaq Dan Muqayyad.
4.
Untuk memahami Pola hubungan Lafazh
Muthlaq Dan Muqayyad dalam nash.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
Al-Qur’an
mengandung berbagai lafaz (kata) yang digunakan dalam teks hukum. Ada lafaz
yang mengandung pengertian umum yaitu ‘am
dan ada juga lafaz yang mengandung pengartian khusus yaitu ‘khas. Pada lafaz yang ‘khusus’ ada
yang digunakan tanpa diikatkan pada kata sifat aatu kondisi apapun yaitu mutlaq, dan ada pula yang diikatkan
pada kata sifat atau kondisi tertentu yaitu muqayyad [1]
Muthlaq (المطلق)
menurut bahasa artinya terlepas, tidak terbatas, dan lain-lain. Sedangkan
menurut istilah terdapat beragam pendapat yang pada intinya merujuk pada suatu
kesamaan.
Menurut ulama ushul muthlaq ialah: [2]
لَفْظٌ
خَاصٌّ لَمْ يُقَيَّدْ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَهُ
“Lafazd
tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan
jangkauannya.”
Menurut
Amir Syarifuddin Muthlaq ialah :[3]
مادل على فرد
أو أفراد شائعة بدون قيد مستقل لفظا
“Lafaz
yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang bersifat melingkupi, tanpa diiringi ikatan
apa-apa yang terpisah.”
Menurut
Nazar Bakry Muthlaq ialah :lafaz-lafaz yang menunjukkan
kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan.[4]
Seperti
firman Allah SWT :
....فَتَحْرِيرُرَقَبَةٍ......
“Maka
bebaskanlah oleh seorang hamba sahaya “(Q.S. Mujahadah ayat 3). Hal ini berarti boleh
membebaskan hamba sahaya yang tidak
mukmin atau hamba sahaya yang mukmin.
Adapun
muthlaq yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah:[5]
ماَدَلَّ
عَلَى الْمَهِيَةِ بِلَا قَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهَا
“Lafaz
yang menunjukkan sesuatu hakekat, tanpa ada satu ikatan dari (beberapa) ikatannya.”
Sedangkan Muqayyad (المقيد) menurut
bahasa artinya yang mengikat,
membatasi.[6]
Adapun secara istilah sama halnya dengan Muthlaq
beragam pendapat dari para ahli bermunculan.
Muqayyad
menurut ulama ushul :[7]
لَفْظٌ
خَاصٌّ قُيِّدَ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَهُ
“Suatu
lafadh tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan
jangkauannya.”
Menurut Nazar Bakry muqayyad
ialah suatu lafaz yang menunjukkan
atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan. Seperti firman Allah SWT :[8]
مَنْ قَتَلَ
مُؤمِناً خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤمِنَةٍ
“Dan
barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman.” (Q.S.
An-nisa ayat 92). Di sini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan, tetapi ditentukan, hanyalah hamba sahaya
yang beriman.
Adapun muqayyad yang
dimaksudkan dalam istilah ilmu ushul fiqih
adalah : [9]
ماَدَلَّ
عَلَى الْمَهِيَةِ بِقَيْدٍ مِنْ قُيُوْدِهاَ
“Lafaz
yang menunjukkan sesuatu hakikat, dengan satu ikatan dari (beberapa) ikatannya.”
Dari berbagai uraian pendapat
yang dikemukakan oleh para ahli diatas,
maka dapat ditarik sebuah kesimpulan jika yang dimaksud dengan muthlaq ialah suatu lafazh yang cakupan
akan maknanya tanpa batas atau dengan
kata lain lafazh yang memiliki makna luas tanpa batasan. Contohnya kata الدم (darah) dalam firman Allah SWT:[10]
حرمت عليكم الميتة والدم
“diharamkan
atas kamu bangkai dan darah.” (QS.Al-maidah ayat 3). Apa yang dimaksud dengan dengan lafazh الدم dalam ayat ini adalah jenis
darah yang bersifat menyeluruh tanpa ada batasan yang dapat menyempitkan kandungannya.
Sedangkan muqayyad kebalikan
dari muthlaq. Lafazh yang menunjukkan
pada sebuah hakikat sesuatu dengan menggunakan batasan yang dapat mempersempit kandungannya. Dengan kata lain
cakupan maknanya terbatas.
Contohnya lafazh د م مسفوح (darah yang mengalir) dalam
firman Allah SWT :
أودما مسفوها
“atau
darah yang mengalir.” (QS.Al-an’am ayat 145). Batasan lafazh مسفوح (mengalir) dalam ayat tersebut
merupakan sifat tambahan dari
hakikat lafazh د م (darah).
2.2 Hukum lafadz Muthlaq Dan lafadz Muqayyad
Jika terdapat lafazh muthlaq dalam
sebuah teks maka yang mesti dilakukan adalah menggunakan lafazh tersebut sesuai
ke-muthlaq-annya. Kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa
lafazh muthlaq tersebut dibatasi kandungannya.[11]
Begitu pula dengan lafazh muqayyad tetap atas keterbatasannya atau
keterkaitannya walaupun ada muthlaqnya.[12]
Maksudnya adalah, bila datang satu
kalam yang mana di dalamnya ada lafazh muthlaq pada suatu tempat, tetapi
adapula satu lafazh muqayyad pada satu kalam di tempat lain, maka dibebankan
lafazh yang muqayyad (artinya yang terpakai adalah yang muqayyad).[13]
Yang
demikian hanya berlaku apabila sebab dan hukum yang terdapat pada yang muthlaq
dan muqayyad adalah sama. Sebagai contoh adalah, sabda Nabi Saw, pada orang
Arab Gunung tentang kifaratnya bila seseorang bersetubuh dalam bulan puasa :[14]
صُمْ شَهرَيْنَ مُتَتا بِعِيْنَ (متفق عليه)
“puasalah
dua bulan berturut-turut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
dalam riwayat lain Nabi bersabda :
صُمْ
شَهْرَيْنِ
“puasalah
dua bulan”
Kedua
hadist tersebut diatas mempunyai sebab dan hukum yang sama. Dikatakan sebabnya sama karena sama-sama sebab bersetubuh dalam bulan puasa, dan hukumnya sama-sama
wajib. Dalam hal demikian, maka
berlakulah kaidah yang berbunyi :[15]
اَلْمُطْلَقُ
يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيِّدِ اِذَا اَتِّفَقاً فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
Mutlaq dibebankan pada
yang muqayyad apabila sama sebab dan hukumnya.
Tetapi
dalam hal lain, yang tidak sama hukum dan sebabnya, tidaklah boleh dibebankan muthlaq pada yang muqayyad.
Sebagai contoh adalah firman Allah
yang menyangkut tentang kifarat orang yang menzihar
istrinya :[16]
....فَتَحْرِيرُرَقَبَةٍ..
“maka
hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya.” (QS.Al-mujadalah ayat 2)
Dengan
firman Allah tentang kifarat orang yang membunuh karena tidak sengaja:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
(النساء 92)
“maka
hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin” (QS.An-nisa ayat 92)
Dalam
kedua ayat tersebut, tidak terdapat kesamaan sebab dan hukumnya. Dalam hal demikian berlakulah kaidah yang berbunyi :[17]
اَلْمُطْلَقُ
يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيِّدِ اِذَا لَمْ يَتَّفِقاَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
Muthlaq
itu dibebankan pada yang muqayyad bila tidak sama sebab dan hukumnya.
Keterangan
:
Bila
terdapat lafazh muthlaq yang mempunyai dua muqayyad, dan kemungkinan tidak dapat ditentukan
muqayyad yang lebih kuat antara keduanya,
maka tidak dapat dibebankan muthlaq pada muqayyad. Tapi terpakai kemuthlaqannya yakni kedua-duanya terpakai.[18]
Sebagai
contoh menyamak bejana yang dijilat anjing harus dilakukan dengan tanah. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa pada samakan pertamalah digunakan tanah.
Sedang dalam riwayat lain dinyatakan
bahwa tana digunakan pada samakan terakhir. Dalam hal demikian, yakni samakan dengan tanah boleh pada samakan
pertamanya dan boleh pula pada samakan
yang terkahir.[19]
2.3 Pola Hubungan Lafazh Muthlaq Dan
Muqayyad dalam Nash
Terdapat
empat kemungkinan pola hubungan mutlaq dan muqayyad
dalam nash, yaitu:[20]
1.
Dalam suatu nash, lafal muncul
secara mutlaq, dan dalam nash lain lafal muncul secara muqayyad. Titik penyebab
timbulnya hukum (sabab al-hukm) dan status hukum yang dikandung kedua nash itu
bersesuaian. Contohnya ialah:[21]
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah … (QS. Al-Maidah : 3)
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً
أَوْ دَمًا
مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ
Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi … (QS.
Al-An’am : 145)
Kata ad-Dam (darah) pada
nash pertama disebut secara mutlaq,sedangkan pada nash kedua disebut secara
muqayyad, yakni دَمًا مَّسْفُوحًا (darah yang mengalir) ; status hukum dalam kedua nash itu
sama, yakni haram mengonsumsi darah; dan begitu pula sabab al-hukm nya, yakni
ada unsur mudarat dan kuman penyakit dalam darah.
2.
Dalam suatu nash, lafal muncul
secara mutlaq, dan dalam nash lain lafal itu muncul secara muqayyad. Titik
penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm) dan status hukum yang dikandung kedua
nash itu berbeda.
Contohnya ialah:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ
Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah … (QS.
Al-Maidah : 38)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku … (QS. Al-Maidah : 6)
Kata aydi
(tangan) pada nash pertama disebut secara mutlaq,
sedangkan pada nash kedua disebut secara muqayyad, yakni
أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (tanganmu
hingga sikumu). Status hukum dalam kedua
nash itu berbeda, pada nash pertama wajib amputasi tangan dan dalam nash kedua wajib membasuh
tangan. Begitu pula dalam sabab al-Hukm
nya, dalam nash pertama ialah adanya unsur perbuatan melawan hukum terhadap harta orang yang disimpan
pada tempatnya, dan dalam nash
kedua ialah kondisi berhadas yang disertai dengan keinginan melakukan amaliah yang dipersyaratkan bersuci (thaharah) terlebih dahulu.[22]
3. Dalam suatu
nash, lafal muncul secara mutlaq, dan dalam nash lain, lafal muncul secara
muqayyad. Titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm) dari keduanya
bersesuaian, sedangkan status hukum yang dikandung keduanya berbeda. Contohnya
ialah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku (QS. Al-Maidah : 6)
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
فَلَمْ تَجِدُوا
مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم
مِّنْهُ ۚ
…
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu … (QS. Al-Maidah : 6)
Kata
aydi (tangan) pada nash pertama disebut secara muqoyyad,
yakni أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (tanganmu hingga sikumu), sedangkan pada nash kedua disebut secara
mutlaq, yakni aydi (tangan).
Status hukum dalam kedua nash itu berbeda, yakni wajib basuh tangan dalam nash pertama, dan wajib usap tangan dalam nash kedua. Akan tetapi, sabab al-hukm dari
keduanya itu bersesuaian, yakni kondisi
berhadas yang disertai dengan keinginan melakukan
amaliah yang dipersyaratkan bersuci (thaharah) terlebih dahulu.[23]
4. Dalam suatu
nash, lafal muncul secara mutlaq, dan dalam nash lain lafal itu muncul secara
muqayyad. Titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm) dari keduanya berbeda,
sedangkan status hukum yang dikandung keduanya bersesuaian. Contohnya ialah:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ
يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا
Orang-orang
yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur ... (QS.
Al-Mujadalah : 3)
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا
… dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) … (QS.
An-Nisa : 92)
Difahami bahwa nash
pertama berbicara tentang kifarat zihar, sedangkan
nash kedua memperbincangkan kifarat pembunuhan karena alpa (qatl al-khata’). Pada nash pertama, kata raqabah
disebut secara mutlaq, sedangkan
pada nash kedua disebut secara muqayyad, yakni
رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ (hamba sahaya yang beriman). Dari segi status hukum yang dikandungnya, yakni wajib memerdekakan budak,
kedua nash tersebut bersesuaian.
Akan tetapi, dari segi sabab al-hukm yang dikandungnya, kedua nash itu berbeda. Pada nash pertama, sabab
al-hukm-nya ialah keinginan kembali,
sedangkan pada nash kedua ialah pembunuhan karena
alpa (qatl al-khata’).
2.4 Perbedaan Pandangan Para Ulama
Jika kita
merujuk kepada pembagian pola hubungan diatas, maka kita dapat menemukan ada
beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama.
Dalam
kemungkinan pola pertama, para ulama bersepakat bahwa lafaz yang muqayyad
berfungsi menjelaskan lafaz yang mutlaq, serta mengalihkan pengertian lafaz
mutlaq pada pengertian lafaz muqayyad. Dengan kata lain, pemahaman nash mutlaq
harus disesuaikan menurut tuntutan pesan nash muqayyad ((حمل المتلق على المقيد. Sebagian riwayat, sebagaimana menurut
Asy-Syaukani, menyebutkan adanya perbedaan di kalangan ulama dalam persoalan
ini tetapi bukan perbedaan sengit dan substantive yang mempunyai implikasi
konkret di kalangan mereka.[24]
Dalam
kemungkinan pola kedua, ulama bersepakat bahwa lafal yang muqayyad tidaklah
berfungsi menjelaskan keumuman lafal yang mutlaq. Sebaliknya, kedua lafal
mutlaq dan muqayyad tersebut digunakan makna masing-masing seperti semula. Hal
ini disebabkan antara kedua lafal tersebut tidak lagi mempunyai hubungan, baik
dari segi persamaan hukum maupun sebab munculnya hukum.
Dalam
kemungkinan pola ketiga, ulama berpendapat bahwa lafal yang muqayyad tidaklah
berfungsi membatasi lafal yang mutlaq. Sebaliknya, kedua lafal tersebut
menggunakan kandungan maknanya masing-masing seperti sedia kala.
Dalam
kemungkinan pola keempat, ada perbedaan pendapat. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa nash mutlaq harus disesuaikan pemahaman atasnya menurut tuntutan nash
muqayyad ((حمل
المتلق على المقيد. Sedangkan
para ulama hanafiyah berpendapat sebaliknya bahwa nash mutlaq harus difahami
menurut tuntutan pesan nash tersebut dan nash muqayyad harus difahami menurut
tuntutan pesan nash tersebut. ((عدم حمل المتلق على المقيد.[25]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Al-Qur’an
merupakan pedoman hidup manusia yang mengandung nash-nash tasyri’ di dalamnya.
Salah satu bentuk nash-nash tasyri’ adalah mutlaq dan muqayyad. Mutlaq adalah
lafaz yang menunjukkan pada makna yang luas tanpa terikat oleh batas. Sedang
muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan pada makna yang terikat oleh batas.
Keduanya memiliki kaidah masing-masing. Lafaz yang mutlaq harus dipahami dalam
ke-mutlaq-annya sebelum ada indikasi yang membatasinya. Begitu pula lafaz yang
muqayyad harus dipahami sesuai qayid yang menyertainya. Lafaz-lafaz mutlaq dan
muqayyad ini tidak hanya muncul sebagai nash-nash tasyri’ tetapi juga
menunjukkan salah satu keindahan retorika bahasa Arab yang dikandung oleh
Al-Qur’an.
3.2 Saran
Melalui makalah ini, kami selaku
penulis menghimbau kepada seluruh pembaca, khususnya teman-teman XII IPA 1 agar
selalu berpegang teguh pada Al-quran dan Sunnah. Hidup tidak akan tersesat jika
kita berpegang pada Al-quran dan Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Mu’in, dkk. 1986. Ushul fiqh II
Qaidah-Qaidah istinbath dan ijtihad(metode penggalian
hukum islam. Jakarta: C.V. Romando.
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh
dan ushul fiqh. Jakarta: Rajawali press.
Djalil, Bhasiq. 2010. Ilmu ushul fiqh 1 dan 2. Jakarta: Kencana.
Yasid, Abu. 2012. Memahami ilmu ushul fiqh sebagai epistimologi
hukum. Jakarta: Erlangga.
Sa’id al-Khinn, Musthafa. 1998. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al- Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf al-Fuqaha. Surabaya : Nurul Huda
Ø Sumber Lain
http://www.fatihnasrullah.com/2014/10/lafaz-mutlaq-dan-muqayyad-dalam- nash.html# Di akses
pada 21 Januari 2015:20.15
http://embun-mahakam.blogspot.com/2012/11/mutlaq-dan-muqayyad_13.html# Di akses pada 21 Januari
2015:19.20
[2] Mu’in dkk.Ushul fiqh
II Qaidah-Qaidah istinbath dan ijtihad(metode penggalian hukum islam).
(Jakarta:C.V.Romndo, 1986).H.50
[6] Ibid. Hal., 94
[7] Ibid. Hal., 95
[10] Ibid,
Hal., 96
[11] Abu yasid, Memahami
ilmu ushul fiqh sebagai epistimologi hukum, (Jakarta: Erlangga, 2012) Hal.,139
[13] Ibid,.Hal., 96
[14] Ibid,.Hal., 96
[15] Ibid,.Hal., 97
[17] Ibid,.Hal., 98
[18] Ibid,.Hal., 99
[19] Ibid,.Hal., 102
[20] Musthafa Sa’id
al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf
al-Fuqaha, (Surabaya : Nurul Huda, 1998) Hal. 248.
[21] Ibid.,
Hal. 249.
[22] Musthafa Sa’id
al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf
al-Fuqaha, (Surabaya : Nurul Huda, 1998) Hal. 250.
[23] Musthafa Sa’id
al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf
al-Fuqaha, (Surabaya : Nurul Huda, 1998) Hal. 252.
[24] http://www.fatihnasrullah.com/2014/10/lafaz-mutlaq-dan-muqayyad-dalam-nash.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar